Ibukota
bukanlah tempat yang nyaman bagi difabel.
Jauh waktu dari ucapannya tentang
ibukota yang tak nyaman bagi para difabel akhirnya dengan mata kepala sendiri
dapat terlihat. Ada seorang difabel yang butuh waktu dua jam untuk sekedar menyeberangi jalan di
sudut Jakarta Selatan.
Hari ini, 3 Desember dunia
merayakan World day for people with disability,
tema tahun ini “Together for a better world
for all” Bersama
untuk sebuah dunia yang lebih baik bagi semua, termasuk di dalamnya bagi
difabel.
ada tiga hal yang membuat para difabel merasa tidak nyaman
di sebuah kota :
Pertama, akses penyeberangan jalan dan fasilitas publik lainnya yang
sangat sulit mereka akses. Kedua, perlakuan orang kebanyakan yang
mengabaikan keberadaan kaum difabel. Mereka tidak minta diberi perhatian lebih
tapi diperlakukan dengan proporsional dan tidak dipandang sebelah mata. Ketiga, kesempatan kerja yang sangat terbatas.
***
Sulitnya Menjadi
Difabel di Negeri ini..
Pembangunan infrastruktur di
negeri kita masih jauh dari kepekaan atas assesibilitas difabel. Trotoal dibuat flat saja sehingga difanel khususnya tuna
netra akan sulit mengetahui posisinya di trotoar. Kemudian transportasi umum
juga cenderung sangat sulit diakses para difabel. Mungkin pengecualian untuk
trans Jakarta yang sudah cukup baik perlakuan terhadap kaum difabel. Namun
secara umum transportasi publik bagi jauh dari kesan ramah terhadap kaum
difabel. Kalau kita mau menilik lebih detail lagi banyak sekali fasilitas umum
yang belum secara serius mmeberi kemudahan bagi difabel.
Bayangkan betapa sulitnya bagi
difabel untuk mengakses fasilitas toilet yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan khusus mereka. Regulasi mengenai perlunya fasilitas bagi difabel sama
sekali belum menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemeirntah daerah dan
para pengelolah tempat-tempat umum.
Kondisi yang menyulitkan kaum
difabel juga diperparah dengan buruknya persepsi kebanyakan orang atas
kehadiran mereka. Kaum difabel lebih kerap dianggap sebagai beban. Pada kondisi
lain solidaritas publik terhadap kaum difabel terutama di kota besar juga
sangat rencah. Lihat saja kalau ada difabel yang mau menyeberang jalan. Tak
banyak orang yang mau membantunya. Kadang malah pengendara membunyikan klakson
ketika mereka menyebrang. Mereka tak minta banyak dari kita yang memiliki
kelengkapan fisik mereka hanya perlu diapresiasi.
Kesulitan ketiga, berupa
sempitnya kesempatan kerja bagi mereka juga terjadi di negeri kita.
Perusahan-perusaan masih menganggap mempekerjakan kaum difabel sebagai sesuatu
yang tidak menguntungkan dan berpotensi merugikan. Meski demikian, ada pula
perusahaan atau instansi tertentu yang memberi ruang bagi difabel. Pernah saya
melihat sebuah stasiun televisi swasta memiliki begitu banyak pekerja yang
difabel, bahkan kepala bagian humasnya adalah seorang difabel, begitupun
beberapa karyawan di studio, desain grafis dan juga editor.
Kondisi yang terjadi di stasiun
tv swasta tersebut masih bisa dihitung jari di negeri kita. Pada umumnya semua
masih abai akan potensi yang dimiliki kaum difabel.
Kecenderungan
Dieksploitasi
Fakta hari ini, kaum difabel
kerap dieksplotasi oleh pihak di luar dirinya untuk mendapat keuntungan
finanasial dari ketidaksempurnaan fisiknya tersebut. Pada kondisi tertentu
adapula para difabel yang mengekploitasi dirinya sendiri. Kondisi inilah yang
juga ikut mempengaruhi opini publik terhadap kaum difabel.
Tak dimungkiri bahwa upaya
menjadikan kekurangan kaum difabel sebagai penarik simpati publik masih terjadi
di negeri kita. Padahal jauh lebih bermartabat jika keluarga maupun kaum
difabel mengeksplorasi kemampuannya. Bukan justru mengeksploitasi
kekurangannya.
Banyak contoh sukses bagi kaum
difabel, sebut saja mantan presiden, Almarhum Gusdur, ada pula Habibie Hafsyah
yang pengusaha online yang sukses. Kita juga mengenal Gufron Sakaril, Kabag
Humas Indosiar. Ada juga Saharudin Daming, sang anggota komnas HAM. Serta
beratus kaum difabel yang sukses.
Tentu saja mengeksplotasi
kekurangan jauh lebih muda daripada mengeksplorasi potensi. Untuk itulah
solidaritas kita semua dibutuhkan, bagaimana memberi kesempatan bagi difabel
dalam mengeksplorasi potensinya.
Mari kita lihat sekeliling adakah
difabel di sekitar kita. Jika ada, maka itu ladang kesempatan bagi kita untuk
membangun hubungan yang baik dengan mereka, berkomunikasi dan mencoba bersama
menemukan potensi mereka. Seraya menambah pengetahuan kita, bukankah
pengetahuan dan kesadaran itu juga bisa kita dapat dari siapa saja, termasuk
difabel.
***
Pada akhirnya hidup di kota besar
bukanlah perkara mudah. Bagi yang fisiknya sempurna saja, hidup di kota besar
taklah mudah, palagi bagi para difabel. Namun kesulitan jangan membuat mata
kita buta akan kesulitan yang dirasakan sesama. Justru ketika kita sama-sama
merasakan kesulitan ini, saat kita bergandeng tangan bersama itulah kesulitan
kita akan menjadi ringan, tak peduli kita sempurna fisiknya atau tidak.
Tetaplah berbagi itu indah..
Selamat merayakan World day for people with
disability.. Semoga
kota-kota di Indonesia lebih ramah bagi kaum difabel.
Note : Difabel = Istilah bagi
penyandang cacat. Istilah difabel dinilai tidak merendahkan martabat ketimbang
istilah lain termasuk istilah kaum cacat.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar