Senin, 26 Maret 2012

Catatan World Day for People with Disability





Ibukota bukanlah tempat yang nyaman bagi difabel.
Jauh waktu dari ucapannya tentang ibukota yang tak nyaman bagi para difabel akhirnya dengan mata kepala sendiri dapat terlihat. Ada seorang difabel yang butuh waktu dua jam untuk sekedar menyeberangi jalan di sudut Jakarta Selatan.

Hari ini, 3 Desember dunia merayakan World day for people with disability, tema tahun ini “Together for a better world for all” Bersama untuk sebuah dunia yang lebih baik bagi semua, termasuk di dalamnya bagi difabel.
ada tiga hal yang membuat para difabel merasa tidak nyaman di sebuah kota :
Pertama, akses penyeberangan jalan dan fasilitas publik lainnya yang sangat sulit mereka akses. Kedua, perlakuan orang kebanyakan yang mengabaikan keberadaan kaum difabel. Mereka tidak minta diberi perhatian lebih tapi diperlakukan dengan proporsional dan tidak dipandang sebelah mata. Ketiga, kesempatan kerja yang sangat terbatas.

***
Sulitnya Menjadi Difabel di Negeri ini..

Pembangunan infrastruktur di negeri kita masih jauh dari kepekaan atas assesibilitas difabel. Trotoal dibuat flat saja sehingga difanel khususnya tuna netra akan sulit mengetahui posisinya di trotoar. Kemudian transportasi umum juga cenderung sangat sulit diakses para difabel. Mungkin pengecualian untuk trans Jakarta yang sudah cukup baik perlakuan terhadap kaum difabel. Namun secara umum transportasi publik bagi jauh dari kesan ramah terhadap kaum difabel. Kalau kita mau menilik lebih detail lagi banyak sekali fasilitas umum yang belum secara serius mmeberi kemudahan bagi difabel.
Bayangkan betapa sulitnya bagi difabel untuk mengakses fasilitas toilet yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khusus mereka. Regulasi mengenai perlunya fasilitas bagi difabel sama sekali belum menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemeirntah daerah dan para pengelolah tempat-tempat umum.
Kondisi yang menyulitkan kaum difabel juga diperparah dengan buruknya persepsi kebanyakan orang atas kehadiran mereka. Kaum difabel lebih kerap dianggap sebagai beban. Pada kondisi lain solidaritas publik terhadap kaum difabel terutama di kota besar juga sangat rencah. Lihat saja kalau ada difabel yang mau menyeberang jalan. Tak banyak orang yang mau membantunya. Kadang malah pengendara membunyikan klakson ketika mereka menyebrang. Mereka tak minta banyak dari kita yang memiliki kelengkapan fisik mereka hanya perlu diapresiasi.
Kesulitan ketiga, berupa sempitnya kesempatan kerja bagi mereka juga terjadi di negeri kita. Perusahan-perusaan masih menganggap mempekerjakan kaum difabel sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan dan berpotensi merugikan. Meski demikian, ada pula perusahaan atau instansi tertentu yang memberi ruang bagi difabel. Pernah saya melihat sebuah stasiun televisi swasta memiliki begitu banyak pekerja yang difabel, bahkan kepala bagian humasnya adalah seorang difabel, begitupun beberapa karyawan di studio, desain grafis dan juga editor.
Kondisi yang terjadi di stasiun tv swasta tersebut masih bisa dihitung jari di negeri kita. Pada umumnya semua masih abai akan potensi yang dimiliki kaum difabel.

Kecenderungan Dieksploitasi

Fakta hari ini, kaum difabel kerap dieksplotasi oleh pihak di luar dirinya untuk mendapat keuntungan finanasial dari ketidaksempurnaan fisiknya tersebut. Pada kondisi tertentu adapula para difabel yang mengekploitasi dirinya sendiri. Kondisi inilah yang juga ikut mempengaruhi opini publik terhadap kaum difabel.
Tak dimungkiri bahwa upaya menjadikan kekurangan kaum difabel sebagai penarik simpati publik masih terjadi di negeri kita. Padahal jauh lebih bermartabat jika keluarga maupun kaum difabel mengeksplorasi kemampuannya. Bukan justru mengeksploitasi kekurangannya.
Banyak contoh sukses bagi kaum difabel, sebut saja mantan presiden, Almarhum Gusdur, ada pula Habibie Hafsyah yang pengusaha online yang sukses. Kita juga mengenal Gufron Sakaril, Kabag Humas Indosiar. Ada juga Saharudin Daming, sang anggota komnas HAM. Serta beratus kaum difabel yang sukses.
Tentu saja mengeksplotasi kekurangan jauh lebih muda daripada mengeksplorasi potensi. Untuk itulah solidaritas kita semua dibutuhkan, bagaimana memberi kesempatan bagi difabel dalam mengeksplorasi potensinya.
Mari kita lihat sekeliling adakah difabel di sekitar kita. Jika ada, maka itu ladang kesempatan bagi kita untuk membangun hubungan yang baik dengan mereka, berkomunikasi dan mencoba bersama menemukan potensi mereka. Seraya menambah pengetahuan kita, bukankah pengetahuan dan kesadaran itu juga bisa kita dapat dari siapa saja, termasuk difabel.
***
Pada akhirnya hidup di kota besar bukanlah perkara mudah. Bagi yang fisiknya sempurna saja, hidup di kota besar taklah mudah, palagi bagi para difabel. Namun kesulitan jangan membuat mata kita buta akan kesulitan yang dirasakan sesama. Justru ketika kita sama-sama merasakan kesulitan ini, saat kita bergandeng tangan bersama itulah kesulitan kita akan menjadi ringan, tak peduli kita sempurna fisiknya atau tidak. Tetaplah berbagi itu indah..
Selamat merayakan World day for people with disability.. Semoga kota-kota di Indonesia lebih ramah bagi kaum difabel.

Note : Difabel = Istilah bagi penyandang cacat. Istilah difabel dinilai tidak merendahkan martabat ketimbang istilah lain termasuk istilah kaum cacat.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar