Selasa, 27 Maret 2012

Istilah untuk masyarakat kepada "mereka"


Sebuah twit seketika saya post ketika berpapasan dengan ibu Rusidah -seorang fotografer penyandang disabilitas- di KA Prameks,
“eh, aku ketemu ibu fotografer yang (maaf) cacat itu..”
Tak lama kemudian seorang teman mengingatkan,
“Maaf mas, yang benar itu difabel atau disabilitas mas, kalo cacat itu untuk benda”
*deg*
Saya merasa malu ternyata salah dalam memahami hal ini.
—•••—


Banyak orang bingung dengan istilah Cacat, Difabel, dan Disabilitas. Bahkan sejujurnya, istilah disabilitas maupun difabel adalah sesuatu yang baru bagi saya -mungkin begitupula dengan jutaan orang lainnya- yang selama ini lebih familier menggunakan istilah penyandang cacat.
Sekilas ketiga istilah memiliki asosiasi pada hal yang sama, namun akan diterima berbeda secara psikologis bagi para penyandangnya ketika berbaur dalam lingkungan sosial, dimana label yang disematkan bagi mereka akan menciptakan diskriminasi dan  ketidaksetaraan.
Cacat, menurut UU no 4 tahun 1997,
Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental.
Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cacat merujuk pada barang atau benda mati, atau dalam kata lain Afkir. Tentunya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Tuhan YME dengan kondisi tersebut.

Difabel sendiri adalah akronim dari Different Ability, atau Different Ability People, manusia dengan kemampuan yang berbeda. Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia sekitar tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik, atau eufimisme dari istilah penyandang cacat. Lagi-lagi, istilah ini masih menyimpan stigma negatif,
Rupanya tidak hanya Indonesia yang berkutat dengan masalah terminologi. Demi mendapatkan istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi.

Disabilitas adalah definisi yang diberikan oleh International Classification of Functioning for Disability and Health, yang kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan oleh WHO, yaitu:
Disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitations or participation restrictions
Disabilitas adalah “payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi.
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratifikasi UU Penyandang Cacat menjadi UU Konvensi Penyandang Disabilitas (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities) pada 18 Oktober 2011 lalu meski sudah ditandatangi sejak tahun 2007. Hal ini dalam upaya untuk memberikan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas.

“Jadi perlindungan tidak lagi sifatnya hanya memberikan sumbangan tapi lebih kepada kesetaraan hak, mereka sama seperti orang normal”
Salim Segaf Al Jufri – Mensos
Salah satu isu penting dalam upaya menciptakan kesetaraan adalah aksesibilitas. Meskipun sudah ada beragam UU, aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas belum sepenuhnya mampu diwujudkan dan dijamin oleh pemerintah. Kementerian Sosial memandang pesimisme implentasi dari ratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas, karena tidak ada hukuman bagi pemerintah pusat dan daerah yang tidak melaksanakan UU itu.
Menurut Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Makmur Sunusi,saat ini diperlukan Peraturan Pemerintah untuk mengikat  peran serta masyarakat, pemerintah  pusat dan daerah dalam menjalankan implementasi Undang-Undang tersebut.
“Kita akan membuat semacam report ke Badan PBB di Jenewa mengenai ratifikasi itu memberikan perlindungan kepada orang-orang penyandang cacat. Dulu kita punya Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat tapi itu kan masih sangat stigmatis masih sangat berbasis pelayanan services nah kita ingin kalau konvensi itu arahnya pada perlindungan, pada right base, perlindungan hak-hak mereka, bagaimana mewujudkan hak-hak mereka, partisipasi mereka termasuk partisipasi politik. Pesimis atau tidak justru kita mengharapkan dengan ratifikasi ini memperkuat posisi kita untuk melakukan implementasi UU no. 4 tahun 1997. Apakah ada hukuman bagi pemda yang tidak menjalankan UU ini? Belum ada itu mungkin akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Sementara itu, Anggota Komisi Sosial DPR Muhammad Baghowi berpendapat,
“Di kita perhatian terhadap penyandang cacat kurang maksimal misalnya mau naik kereta, mau naek bis, sehingga buat mereka yang ada kecacatan secara fisik itu tidak ada kecuali di penerbangan, kemudian juga tempat-tempat umum baru rata-rata di hotel. Kemudian yang mengalami kecacatan tadi itu supaya mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga mental mereka pada saat bekerja akan lebih bagus. Tidak hanya sekedar menerima tetapi juga berkarya karena banyak juga mereka terkendala secara fisik tapi mental, iQ, kemampuan itu luar biasa”
Salah satu pengurus Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, mengakui pesimistis dengan implementasi UU Disabilitas itu,
“Nggak, nggak menjamin itu masih tetap ada karena itu menyangkut paradigma, kultur dan peradaban masyarakat, implementasinya masih sangat kurang dan bahkan masih nol. Undang-Undang No. 4  Tahun 1997 itu basic asumsi undang-undang masih menggunakan basic charity atau belas kasihan sementara Konvensi ini paradigmanya sudah human rights, dalam salah satu pasal disebutkan negara mengakui tentang kesejahteraan penyandang disabilitas meliputi perumahan, makanan termasuk pakaian”
Realita di Masyarakat.
Saya sering melihat para penyandang disabilitas (terutama tunanetra) di KRL Jakarta-Bogor berprofesi sebagai pengamen (dengan perangkat audio yang dikalungkan di leher), menjadi pengemis, atau tukang pijat di panti pijat. Jarang bahkan hampir belum pernah saya temui mereka yang berprofesi selain tiga tersebut diatas.
Stiker di KA Prameks
Mereka berupaya menghidupi diri mereka dari belas kasihan masyarakat, sementara dengan pemberdayaan yang tepat, dan dihilangkannya diskriminasi terhadap mereka, tidak menutup kemungkinan para penyandang disabilitas memiliki kompetensi yang mumpuni, dan mampu menghidupi diri mereka dari skill yang mereka miliki.
Realita di masyarakat, para penyandang disabilitas ini ternyata masih mengalami stigma negatif sehingga memiliki keterbatasan tambahan, keterbatasan dalam akses publik, informasi, maupun lapangan pekerjaan yang setara dengan yang lainnya.
Keterbatasan tersebut tampak misal dalam akses publik misal trotoar, transportasi dan fasilitas publik; pendidikan yang membedakan antara penyandang disabilitas dan bukan; informasi, dalam hal akses buku, internet, televisi; dan ketenagakerjaan. Anda boleh cek media cetak nasional maupun lokal yang sering menampilkan iklan lowongan pekerjaan, biasanya tiap sabtu, yang masih memberikan syarat-syarat tertentu yang membatasi para penyandang disabilitas. Banyak pula yang menganggap bahwa penyandang cacat sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani.
Dengan realita seperti yang saya sampaikan diatas, saya mendukung bagaimana penyandang disabilitas mendapatkan publikasi yang lebih, baik melalui media cetak maupun media online arus utama, sehingga mampu menghapus stigma bagi para penyandang disabilitas, memberikan peran lebih untuk mendapatkan akses publik, informasi dan pekerjaan sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara terpenuhi, dan tercipta kesetaraan di mata masyarakat.
Sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar