Banyak orang bingung dengan istilah Cacat, Difabel, dan Disabilitas. Bahkan sejujurnya,
istilah disabilitas maupun difabel adalah sesuatu yang baru bagi saya -mungkin
begitupula dengan jutaan orang lainnya- yang selama ini lebih familier menggunakan
istilah penyandang cacat.
Sekilas ketiga istilah memiliki asosiasi pada hal yang sama,
namun akan diterima berbeda secara psikologis bagi para penyandangnya ketika
berbaur dalam lingkungan sosial, dimana label yang disematkan bagi mereka akan
menciptakan diskriminasi dan ketidaksetaraan.
Cacat, menurut UU no 4 tahun
1997,
Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik,
dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang
cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental.
Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cacat merujuk pada
barang atau benda mati, atau dalam kata lain Afkir.
Tentunya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Tuhan YME dengan kondisi tersebut.
Difabel sendiri adalah akronim dari Different
Ability, atau Different
Ability People, manusia dengan kemampuan yang berbeda. Istilah difabel muncul
dan digunakan di Indonesia sekitar tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan
untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik, atau eufimisme dari
istilah penyandang cacat. Lagi-lagi, istilah ini masih menyimpan stigma
negatif,
Rupanya tidak hanya Indonesia yang berkutat dengan masalah
terminologi. Demi mendapatkan istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi
diskriminasi dan stigmatisasi.
Disabilitas adalah definisi yang
diberikan oleh International
Classification of Functioning for Disability and Health, yang
kemudian disepakati oleh World Health
Assembly dan digunakan oleh WHO, yaitu:
Disability serves as an
umbrella term for impairments, activity limitations or participation
restrictions
Disabilitas adalah
“payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan
partisipasi.
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratifikasi
UU Penyandang Cacat menjadi UU Konvensi Penyandang Disabilitas (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities) pada 18
Oktober 2011 lalu meski sudah ditandatangi sejak tahun 2007. Hal ini dalam
upaya untuk memberikan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas.
“Jadi
perlindungan tidak lagi sifatnya hanya memberikan sumbangan tapi lebih kepada
kesetaraan hak, mereka sama seperti orang normal”
Salim Segaf Al Jufri – Mensos
Salah satu isu penting dalam upaya menciptakan kesetaraan adalah aksesibilitas. Meskipun sudah ada
beragam UU, aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas belum sepenuhnya
mampu diwujudkan dan dijamin oleh pemerintah. Kementerian Sosial memandang pesimisme implentasi
dari ratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas, karena tidak ada hukuman bagi
pemerintah pusat dan daerah yang tidak melaksanakan UU itu.
Menurut Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Makmur
Sunusi,saat ini diperlukan Peraturan Pemerintah untuk mengikat peran
serta masyarakat, pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan
implementasi Undang-Undang tersebut.
“Kita akan membuat
semacam report ke Badan PBB di Jenewa mengenai ratifikasi itu memberikan
perlindungan kepada orang-orang penyandang cacat. Dulu kita punya Undang-Undang
No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat tapi itu kan masih sangat stigmatis
masih sangat berbasis pelayanan services nah kita ingin kalau konvensi itu
arahnya pada perlindungan, pada right base, perlindungan hak-hak mereka,
bagaimana mewujudkan hak-hak mereka, partisipasi mereka termasuk partisipasi
politik. Pesimis atau tidak justru kita mengharapkan dengan ratifikasi ini
memperkuat posisi kita untuk melakukan implementasi UU no. 4 tahun 1997. Apakah
ada hukuman bagi pemda yang tidak menjalankan UU ini? Belum ada itu mungkin akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Sementara itu, Anggota Komisi Sosial DPR Muhammad Baghowi
berpendapat,
“Di kita perhatian
terhadap penyandang cacat kurang maksimal misalnya mau naik kereta, mau naek
bis, sehingga buat mereka yang ada kecacatan secara fisik itu tidak ada kecuali
di penerbangan, kemudian juga tempat-tempat umum baru rata-rata di hotel.
Kemudian yang mengalami kecacatan tadi itu supaya mendapatkan kesempatan kerja
yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga mental mereka pada saat bekerja akan
lebih bagus. Tidak hanya sekedar menerima tetapi juga berkarya karena banyak
juga mereka terkendala secara fisik tapi mental, iQ, kemampuan itu luar biasa”
Salah satu pengurus Persatuan Penyandang Cacat Indonesia,
mengakui pesimistis dengan implementasi UU Disabilitas itu,
“Nggak, nggak menjamin
itu masih tetap ada karena itu menyangkut paradigma, kultur dan peradaban
masyarakat, implementasinya masih sangat kurang dan bahkan masih nol.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 itu basic asumsi undang-undang masih
menggunakan basic charity atau belas kasihan sementara Konvensi ini
paradigmanya sudah human rights, dalam salah satu pasal disebutkan negara
mengakui tentang kesejahteraan penyandang disabilitas meliputi perumahan,
makanan termasuk pakaian”
Realita di Masyarakat.
Saya sering melihat para penyandang disabilitas (terutama
tunanetra) di KRL Jakarta-Bogor berprofesi sebagai pengamen (dengan perangkat
audio yang dikalungkan di leher), menjadi pengemis, atau tukang pijat di panti
pijat. Jarang bahkan hampir belum pernah saya temui mereka yang berprofesi
selain tiga tersebut diatas.
Stiker di KA Prameks
Mereka berupaya menghidupi diri mereka dari belas kasihan
masyarakat, sementara dengan pemberdayaan yang tepat, dan dihilangkannya
diskriminasi terhadap mereka, tidak menutup kemungkinan para penyandang
disabilitas memiliki kompetensi yang mumpuni, dan mampu menghidupi diri mereka
dari skill yang mereka miliki.
Realita di masyarakat, para penyandang disabilitas ini ternyata
masih mengalami stigma negatif sehingga memiliki keterbatasan tambahan,
keterbatasan dalam akses publik, informasi, maupun lapangan pekerjaan yang
setara dengan yang lainnya.
Keterbatasan tersebut tampak misal dalam akses publik misal
trotoar, transportasi dan fasilitas publik; pendidikan yang membedakan antara
penyandang disabilitas dan bukan; informasi, dalam hal akses buku, internet,
televisi; dan ketenagakerjaan. Anda boleh cek media cetak nasional maupun lokal
yang sering menampilkan iklan lowongan pekerjaan, biasanya tiap sabtu, yang
masih memberikan syarat-syarat tertentu yang membatasi para penyandang
disabilitas. Banyak pula yang menganggap bahwa penyandang cacat sama dengan
tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk
menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani.
Dengan realita seperti yang saya sampaikan diatas, saya
mendukung bagaimana penyandang disabilitas mendapatkan publikasi yang
lebih, baik melalui media cetak maupun media online arus utama, sehingga mampu
menghapus stigma bagi para penyandang disabilitas, memberikan peran lebih untuk
mendapatkan akses publik, informasi dan pekerjaan sehingga hak-hak mereka
sebagai warga negara terpenuhi, dan tercipta kesetaraan di mata masyarakat.
Sumber